HEALTHCARELAWSUIT — JAKARTA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar Media Lounge Discussion secara daring pada Rabu (7/5/2025) dengan tema pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam diagnosis malaria.
Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman publik dan media tentang inovasi teknologi terkini dalam bidang kesehatan, khususnya untuk penanggulangan penyakit malaria di Indonesia.
Dalam acara tersebut, Dr Puji Budi Setia Asih, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, menjadi narasumber utama.
Ia memaparkan secara komprehensif mengenai malaria, mulai dari jenis parasit penyebab, mekanisme penularan, hingga tantangan dalam diagnosis dan pengendaliannya di Indonesia.
“Malaria masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat di beberapa wilayah Indonesia, terutama daerah endemis seperti Papua dan Nusa Tenggara. Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting dalam upaya pengobatan dan pencegahan penyebarannya,” ujar Dr. Puji.
Dr Puji juga menyampaikan pemaparan mendalam terkait berbagai teknik diagnostik malaria, mulai dari metode tradisional hingga metode canggih berbasis molekuler dan teknologi tinggi.
Metode diagnostik tradisional masih banyak digunakan di lapangan, termasuk diagnosis klinis malaria, pemeriksaan mikroskop cahaya terhadap sampel darah, serta uji serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap parasit Plasmodium
Namun, ia menekankan bahwa metode ini memiliki keterbatasan dari segi sensitivitas dan ketepatan, terutama dalam kasus infeksi rendah.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, metode diagnostik lanjutan kini mulai dikembangkan dan diadopsi.
Dr Puji menyoroti bahwa AI berpotensi besar dalam mendukung metode diagnostik tersebut, khususnya dalam proses identifikasi parasit secara otomatis dari hasil mikroskopi digital maupun dalam analisis data molekuler yang kompleks.
Teknologi ini mampu meningkatkan efisiensi, akurasi, dan kecepatan diagnosis, terutama di daerah terpencil dengan keterbatasan sumber daya.
Ia menjelaskan bahwa teknologi AI dapat menjadi alat bantu yang efektif dalam menganalisis data mikroskopis secara cepat dan presisi, menggantikan metode manual yang membutuhkan waktu dan tenaga ahli yang terbatas.
Dengan bantuan AI, diagnosis malaria dapat dilakukan dengan akurasi tinggi, bahkan dalam kondisi fasilitas laboratorium yang minim.
Dalam pemaparannya, Dr.Puji juga menyampaikan beberapa poin penting sebagai kesimpulan dan arah masa depan inovasi ini:
1. Mikroskopi Tetap Menjadi Tolak Ukur
Teknik mikroskopis masih dianggap sebagai gold standard dalam diagnosis malaria. Akurasi dan keandalan teknik ini tetap menjadi dasar utama dalam mengidentifikasi parasit malaria, meskipun sudah banyak pendekatan baru yang dikembangkan.
2. AI Membuka Peluang Baru di Wilayah Terbatas
Inovasi AI dan pengembangan alat diagnostik baru menawarkan potensi signifikan untuk deteksi dini malaria. Hal ini sangat bermanfaat khususnya di daerah dengan keterbatasan sumber daya, karena teknologi diagnostik canggih dapat memperkuat manajemen dan pengobatan malaria secara efektif.
3. Pengembangan RDT yang Lebih Canggih
Rapid Diagnostic Test (RDT) memiliki banyak keuntungan dan berpeluang untuk terus dikembangkan. Meskipun masih ditemukan kendala seperti delesi gen pfHRP2/3, versi RDT yang lebih mutakhir dapat memberikan akurasi lebih tinggi dalam diagnosis cepat.
4. AI dalam Pengendalian Nyamuk dan Larva
Selain digunakan untuk diagnosis, AI juga dapat berperan dalam program pengendalian malaria dari sisi vektor. Teknologi ini bisa mendeteksi morfologi nyamuk dan jentik, yang merupakan bagian dari manajemen pengendalian larva atau Larva Source Management, sehingga mendukung intervensi lebih cepat dan tepat sasaran.
Dengan perkembangan teknologi dan dukungan riset yang berkelanjutan, pemanfaatan AI diharapkan dapat membawa dampak besar dalam upaya eliminasi malaria, terutama di wilayah endemis dan daerah terpencil.
Diskusi ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara peneliti, tenaga medis, serta pengembang teknologi dalam menghadirkan solusi berbasis AI yang aplikatif dan mudah diakses.
Selain itu, BRIN menegaskan komitmennya untuk terus mendorong inovasi riset dalam bidang kesehatan sebagai bagian dari transformasi digital nasional.
Media Lounge Discussion ini diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai media nasional, peneliti, serta pemerhati kesehatan, yang aktif berdiskusi dan mengajukan pertanyaan terkait implementasi AI di lapangan.
Dengan adanya forum ini, BRIN berharap masyarakat semakin memahami potensi besar AI dalam mendukung layanan kesehatan dan penanggulangan penyakit menular di Indonesia.